PROSES
PERAWATAN PASIEN RISIKO INFEKSI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Infeksi adalah masuknya patogen atau mikroorganisme yang
mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005), sedangkan risiko infeksi
merupakan individu yang berpotensi mendapatkan suatu infeksi tertentu dapat
dikarenakan faktor keturunan atau karena penyebab tertentu, namun belum muncul
tanda dan gejala dari individu tersebut. Pada penyakit infeksi dikenal adanya
rantai penularan (chain of transmission)
yaitu proses berpindah atau menyebarnya mikroba patogen dari sumber penularan
(reservoir) ke pejamu (calon penderita) melalui mekanisme penularan.
Rantai penularan dapat diputuskan dengan mengenal dan
mengetahui sumber penularan serta mekanisme penularan, sehingga penularan tidak
terjadi. Rantai penularan terdiri dari agen infeksius, reservoar, portal
keluar, cara menular, portal masuk dan pejamu yang rentan. Dengan mengenal
unsur – unsur yang berpengaruh atas terjadinya penularan, maka dapat disusun
sebuah tindakan atau langkah – langkah untuk memutus rantai penularan, agar
tidak terjadi infeksi nosokomial.
Sebagaimana dalam kasus yaitu seorang anak laki – laki,
umur 11 tahun dengan diagnosa paska laparatomi eksplorasi akibat apendiksitis
perforasi dengan keluhan utama badan terasa hangat dan nyeri pada luka insisi
dapat didiagnosa sebagai risiko infeksi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja faktor
penyebab terjadinya infeksi ?
2.
Apa saja
tanda-tanda terjadinya infeksi ?
3.
Seperti apa
pathways ?
4.
Bagaimana cara
memutus rantai infeksi ?
5.
Asuhan keperawatan
seperti apa yang dapat dibuat berdasarkan kasus?
6.
Apa saja faktor
budaya yang mempengaruhi terjadinya risiko infeksi ?
C.
TUJUAN
1.
Memahami infeksi.
2.
Mampu membuat
asuhan keperawatan.
3.
Mengerti pengaruh budaya
terhadap terjadinya risiko infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi menurut
Hegner (2003) merupakan proses penyaki
yang disebabkan oleh organisme infeksius atau produk-produknya. Termasuk
didalamnya adalah pneumonia, demam skarlet, dan abses, inflamasi atau radang
biasanya merupakan bagian dari proses infeksi.
Diagnosa menurut Hegner (2003) sebelum dokter dapat meresepkan pengobatan
yang tepat untuk pasien, proses penyakit harus ditentukan, menyimpulkan proses
penyakit dikenal sebagai penetapan diagnosa medis. Untuk samapai pada tahap
ini, pasien diperiksa, riwayat penyakit terdahulu diambil an dikaji, dan
dilakukan berbagai tes laboratorium.
Infeksi adalah invansi
tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Potter &
Perry, 2005).
Nosokomial berasal dari Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion
berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokoomial dapat
diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi dirumah sakit (Darmadi,
2008)
Menurut Darmadi (2008), masuknya mikroba atau
transmisi mikroba ke penderita, tentunya berasal dari sekitar penderita, dimana
penderita menjalani proses asuhan keperawatan seperti:
1. Penderita
lain, yang juga sedang dalam proses perawatan;
2. Petugas
pelaksana (dokter, perawat , dan seterusnya);
3. Peralatan
medis yang digunakan;
4. Tempat
(ruangan/ bangsal/ kamar) dimana penderita dirawat;
5. Tempat/
kamar dimana penderita menjalani
tindakan medis akut seperti kamar operasi dan kamar bersalin;
6. Makanan
dan minuman yang disajikan;
7. Lingkungan
rumah sakit secara umum;
Semua unsur tersebut, besar atau kecil dapat memberi
kontribusi terjadinya infeksi nosokomial. Pencegahan melalui pengendalian
infeksi nosokomial dirumah sakit saat ini mutlak harus dilaksanakan oleh
selutuh jajaran manajemen rumah sakit.
Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang
(kurang begitu tepat), tapi lebih umum pembedahan perut. Pembedahan yang
dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada
usus halus. (Arif Mansjoer, 2000).
Jenis Laparotomi menurut Long,
Barbara C (1996) antara lain:
1. Menurut Tekhnik Pembedahan
a.
Insisi pada garis tengah abdomen
(mid-line incision)
b.
Paparan bidang pembedahan yang baik
c.
Dapat diperluas ke cephalad ( ke
arah “kranial” )
d.
Penyembuhan dan kosmetik tidak
sebaik insisi tranversal
e.
Dipilih cara ini bila insisi
tranversal diperkirakan tidak dapat memberikan paparan bidang pembedahan yang
memadai
f.
Dipilih pada kasus gawat-darurat
2. Insisi
pada garis tranversal abdomen (Pfannenstiel incision)
Sering digunakan pada pembedahan obstetri dan
ginekologi.
Keuntungan:
a.
Jarang terjadi herniasi pasca bedah
b.
Kosmetik lebih baik
c.
Kenyamanan pasca bedah bagi pasien
lebih baik
Kerugian:
a.
Daerah pemaparan (lapangan operasi)
lebih terbatas
b.
Tehnik relatif lebih sulit
c.
Perdarahan akibat pemisahan fascia
dari lemak lebih banyak
3.
Jenis Laparatomi
Menurut Indikasi
a.
Adrenalektomi: pengangkatan salah
satu atau kedua kelenjar adrenalin
b.
Apendiktomi: operasi pengangkatan
apendiks
c.
Gasterektomi: pengangkatan sepertiga
distal lambung (duodenum/jejunum, mengangkat sel-sel penghasil gastrin dalam
bagian sel parietal)
d.
Histerektomi: pengangkatan bagian
uterus
e.
Kolektomi: seksisi bagian kolon atau
seluruh kolon
f.
Nefrektomi: operasi pengangkatan
ginjal
g.
Seksiosesaria: pengangkatan janin
dengan membuka dinding ovarium melalui abdomen.
h.
Siksetomi: operasi pengangkatan
kandung kemih
i.
Selfigo oofarektomi: pengangkatan
salah satu atau kedua tuba valopi dan ovarium
Indikasi Bedah Laparatomi
Tindakan
laparatomi bisa ditegakkan atas indikasi pada klien dengan apendiksitis,
pangkreatitis, hernia, kista ovarium, kangker serviks, kangker ovarium, kangker
tuba falopi, kangker hati, kangker lambung, kangker kolon, kangker kandung
kemih, kehamilan ektopik, mioma uteri, peritonitis, trauma abdomen, pendarahan
abdomen, massa abdomen, dll. (Leveno, K. J, 2009)
Manifestasi Klinik Tindakan
Laparatomi menurut Leveno, K. J, (2009) yaitu:
1.
Nyeri tekan
2.
Perubahan tekanan darah, nadi dan
pernafasan
3.
Kelemahan
4.
Gangguan integumuen dan jaringan
subkutan
5.
Konstipasi
6.
Mual dan muntah, anoreksia
Topografi anatomi abdomen menurut Fitzpatrick, JK. (1997) antara lain:
Ada dua macam cara pembagian
topografi abdomen yang umum dipakai untuk menentukan lokalisasi kelainan,
yaitu:
1.
Pembagian atas empat kuadran, dengan
membuat garis vertikal dan horizontal melalui umbilicus, sehingga terdapat
daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah.
2.
Pembagian atas sembilan daerah,
dengan membuat dua garis horizontal dan dua garis vertikal.
3.
Garis horizontal pertama dibuat
melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh dan yang kedua dibuat melalui
titik spina iliaka anterior superior (SIAS).
4.
Garis vertikal
dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan mid-line
abdomen.
5.
Terbentuklah
daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri, lumbal kanan,
umbilical, lumbal kanan, iliaka kanan, hipogastrium/ suprapubik, dan iliaka
kiri.
Pada keadaan normal, di daerah
umbilical pada orang yang agak kurus dapat terlihat dan teraba pulsasi arteri
iliaka. Beberapa organ dalam keadaan normal dapat teraba di daerah tertentu,
misalnya kolon sigmoid teraba agak kaku di daerah kuadaran kiri bawah, kolon
asendens dan saecum teraba lebih lunak di kuadran kanan bawah. Ginjal yang merupakan organ retroperitoneal dalam keadaan normal tidak
teraba. Kandung kemih pada retensio urine dan uterus gravid
teraba di daerah suprapubik.
Komplikasi yang terjadi setelah
bedah laparatomi menurut Tarwoto & Wartonah (2006), yaitu:
1.
Gangguan perfusi jaringan sehubungan
dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari
setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post
operasi, ambulatif dini.
2. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 -
46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan
pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan
luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Kerusakan
integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari
batuk dan muntah.
4. Ventilasi
paru tidak adekuat
5. Gangguan
kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
6. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Gangguan
rasa nyaman dan kecelakaan
Menurut
Nursalam (2008) pada klien post-laparotomi
faktor-faktor yang perlu dikaji dalam perencanaan pulang adalah sebagai berikut
:
1.
Pengetahuan klien dan keluarga
tentang penyakit, terapi dan perawatan yang diperlukan
2.
Kebutuhan psikologis dan hubungan
interpersonal di dalam keluarga
3.
Keinginan keluarga dan klien
menerima bantuan dan kemampuan mereka memberi asuhan
4.
Bantuan yang diperlukan klien
5.
Pemenuhan kebutuhan aktivitas hidup
sehari-hari, seperti makan, minum, eliminasi, istirahat dan tidur, berpakaian,
kebersihan diri, keamanan dari bahaya, komunikasi, keagamaan, rekreasi, serta
sekolah
6.
Sumber dan sistem pendukung yang ada
di masyarakat
7.
Sumber keuangan dan pekerjaan
8.
Fasilitas yang ada di rumah dan
harapan klien setelah dirawat
9.
Kebutuhan perawatan dan supervisi di
rumah
BAB III
PEMBAHASAN
Kasus :
Proses perawatan pasien
Resiko infeksi dan
infeksi
Studi kasus
: Anak Doni (Laki – laki , 11 tahun)
Anak Doni, laki-laki, umur (U) 11 tahun, suku jawa,
kelas 5 sekolah dasar (SD), putra kedua pasangan suami istri Tn. Amir, 33 tahun,
SMA, Swasta dan Ny. Siti, 32 tahun, SD, ibu rumah tangga. Anak di rawat di
ruamg bedah anak RS UPN CM sejak 10 Maret 2010 pukul 02.30 WIB. Dengan diagnosa
pasca laparatomi eksplorasi akibat apendiksitis perforasi.
Hasil
wawancara :
(Pengkajian
dilakukan pada tanggal 11 Maret 2010, pukul 08.00 WIB)
Keluhan
utama :
Anak
mengeluh badan terasa hangat dan nyeri pada luka insisi. Nyeri hilang timbul,
dan nyeri berkurang dengan dihusap di daerah sekitar luka operasi.
Pola
Fungsional Gordon (Hasil wawancara)
1. Persepsi
kesehatan dan pola menegemen kesehatan
Anak
selalu berobat kedokter jika sakit, jarang membeli obat sembarangan diwarung.
2. Pola
nutrisi metabolik
Anak
mendapatkan clear fuild 5cc/jam. Anak
terpadan D 5% 14 tetes permenit.
3. Pola
eliminasi
Anak
mengeluh belum flatus dan BAB
4. Pola
istirahat tidur
Anak
tidur nyenyak , masih dalam pengaruh anestesi. Anak tidur 10 – 11 jam/hari.
5. Pola
aktivitas dan latihan
Anak
terbaring diatas tempat tidur, mobilisasi terbatas diatas tempat tidur, anak
merasa nyaman dengan posisi tidur terlentang.
6. Pola
kognitif dan persepsi
Anak
merasa bingung dan khawatir jika luka terasa sakit
7. Pola
hubungan dan peran
Anak
merupakan anak pertama dari pasangan suami istriTn dan Ny. Amir. Anak merasa
jauh dengan teman – teman sekolah
8. Konsep
diri dan persepsi diri
Anak
khawatir apabila terdapat bekas luka.
9. Pola
reproduksi
Anak
berjenis kelamin laki – laki
10. Pola
pertahanan diri
Anak
selalu menanyaka kapan peralatan invasif di lepas
11. Pola
keyakinan dan nilaiapat disembuhkan
Anak meyakini penyakit dapat disembuhkan.
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran :
composmentis,anak masih dalam pengaruh anestesi, anak lebih banyak tidur. TB :
134cm, BB: 26kg (BB/U = 26/36 = 72%, kesan gizi kurang), wajah kemerahan,
berkeringat, akral teraba hangat, nadi 125 kali permenit,
pernafasan 40 kali permenit. Anak terpasang sonde dialirkan produksi hijau 10cc
terpasang infus dekstrose 5%. 14 tetes permenit makro, kateter terpasang sejak
tanggal 9 Maret 2010 dan poduksi urin 150cc/jam (diuresis 1,15 cc/kgBB/jam),
urin jernih kekuningan, anak terpasang selang epidural untuk pemberian oploid intratekal oleh dokter anestesi.
Anak cenderung melindungi daerah luka
operasi saat diperiksa , ekspresi wajah meringis. Abdomen datar, agak distensi
namun supel, bising usus lemah. Pada bagian abdomen tampak adanya balutan luka
pembedahan sepanjang 10 cm, balutan bersih, tidak terdapat rembesan, dan adanya
nyeri tekan disekitar luka pembedahan.
Selama dirawat Denis
malas makan, sekali makan hanya habis ¼ porsi. Deni menyatakan dia tidak suka
dengan diet dari RS.ia juga menghindari makanan yang amis (daging,
ikan) agar luka cepat sembuh. Anak masih mendapatkan terapi ketorolak 3 x 250
mg, cefotaksim 2 x 750 mg.
Pemeriksaan
Laboratorium
Hasil
pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Maret 2010, jam 16.47 WIB di IGD menunjukkan
kadar Hemoglobin 12,5 gr%, hematokrit 37% angka trombosit 418.000/uL, angka
leukosit 20.900/uL, protombrin time
18,9 (1,4 kali), plasma protrombin time 44,8 (1,38 kali), bleeding time 2’00’’, clotting time
12’00’’. Kadar Ureum 29 mg/dl, Kreatin 0,7 mg/dl, GDS 115 mg/dl, pemeriksaan
elektrolit menunjukkan Natrium 132 mEq/L, kalium 4,6 mEq/L, gula darah sewaktu
113 mg/L.
Terapi
Anak
mendapatkan terapi ketolarak 3 x 20 mg, Matrinidazol 3 x 250 mg, Cetofaksim 2 x
750 mg. anak tetap dicobakan clear fluid
5 cc/jam (1 sendok makan/jam), apabila perut bertambah distensis maka pemberian
dihentikan.
Pada hari ketiga
perawatan, perawat mengkaji kondisi luka. Tampak luka sepanjang 10 cm, dijahit
cutgat 10 buah, dehiscence sepannjang 2 cm, tampak kemegarahan, rabaan hangat,
terdapat pus hijau kekuningan. Suhu badan 38,50 C, akral hangat,
berkeringat, muka kemerahan, nadi 125 kali per menit, respirasi 40 kali per
menit.
a.
Faktor Penyebab
Infeksi , Mikroorganisme penyebab Infeksi dan Tanda Infeksi
Faktor penyebab
infeksi dari kasus diatas adalah dari alat – alat bedah yang tidak steril pada
saat dilakukannya operasi, faktor kebersihan lingkungan , perawat / dokter atau
tenaga kesehatan lainnya yang menularkan mikroorganisme dengan kurangnya kesadaran
dalam mencuci tangan , dan kebersihan dari masing – masing personal atau
individu.
Mikroorganisme yang
menyebabkan terjadinya infeksi yaitu bakteri dan virus. Tanda – tanda infeksi
yaitu adanya rubor ( kemerahan ) , tumor (pembengkakan) , kalor (panas) dan
dolor (nyeri). Dimana dalam kasus terdapat luka dijahit sepanjang 10 cm,
dijahit cutgat 10 buah, dehiscence sepanjang 2 cm, tampak kemerahan, rabaan
hangat, dan terdapat pus hijau kekuningan.
b.
Faktor Budaya
Faktor budaya yang
terdapat pada kasus diatas bahwa klien menghindari makanan amis seperti daging
dan ikan karena klien menganggap jika tidak memakan makanan amis , luka akan
cepat sembuh. Sedangkan menurut medis protein (Albumin) akan mempercepat proses
penyembuhan luka seperti makanan daging.
c.
Pathways
Analisa data
|
Problem
|
Etiologi
|
Do:
·
Terpasang infus
·
Terpasang kateter
·
Dehiscence 2 cm
·
Adanya kemerahan
·
Pus hijau kekuningan
·
Leukosit 20.900
Ds :
·
Klien mengatakan
tidak mengkonsumsi daging dan ikan
·
Klien mengatakan
bahwa klien telah melakukan operasi
|
·
Risiko infeksi
|
·
Prosedur invasif (terpasang kateter selang epidural)
|
Do :
·
Pus hijau kekuningan
Ds : -
|
·
Gangguan kerusakan
integritas jaringan
|
·
Faktor mekanik
(terkoyak/ robekan)
|
Diagnosa keperawatan
|
NOC
|
NIC
|
||||||
·
Risiko infeksi
berhubungan dengan adanya prosedur invasif
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan risiko infeksi tidak
terjadi, dengan kriteria hasil :
|
1. Membersihkan
lingkungan klien setelah dipakai pasien
2. Mengajarkan
klien untuk mencuci tangan
3. Menginstruksikan
pengunjung untuk mencuci tangan
4. Membatasi
pengunjung
5. Memberikan
terapi antibiotik bila perlu
6. Istirahat
dengan cukup
7. Mengajakan
pasien dan keluarga untuk menghindari infeksi
|
||||||
·
Gangguan kerusakan
integritas jaringan
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan gangguan kerusakan
integritas jaringan dapat teratasi, dengan kriteria hasil :
|
1. Menganjurkan
klien untuk memakai baju longgar
2. Mobilisasi
pasien
3. Mengobservasi
luka :
▪ Luka
▪ Dimensi
▪ Karakteristik
luka
▪ Kedalaman
luka
▪ Tanda-tanda
infeksi luka
4. Mengjarkan
pada keluarga tentang perawatan luka
5. Memberi
tahu tentang teknik perawatan yang steril
|
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
studi kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa anak bernama Doni, laki-laki
berumur 11 tahun dirawat di RS UPN CM sejak 10 Maret 2010 dengan diagnosa pasca
laparatomi eksplorasi akibat apendiksitis perforasi. Dalam kasus Doni tersebut
terdapat faktor infeksi, yakni dari alat – alat bedah yang tidak steril dan
kurangnya kesadaran dokter/perawat atau tenaga kesehatan lain dalam mencuci
tangan dan menjaga kebersihan. Sedangkan mikroorganisme yang menyebabkan
terjadinya infeksi yaitu bakteri dan virus, dengan tanda-tanda infeksi yang
meliputi rubor (kemerahan) , tumor (pembengkakan) , kalor (panas) dan dolor
(nyeri). Selain itu, faktor budaya yang terdapat pada kasus diatas adalah
anggapan bahwa jika tidak memakan makanan amis maka luka akan cepat sembuh.
Dari kasus tersebut dapat diambil dua macam diagnosa sebagai asuhan
keperawatan, yaitu risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
(terpasang kateter selang epidural) dan diagnosa kedua yaitu gangguan kerusakan
integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik (sobekan).
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial:
Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika
Fitzpatrick, JK. 1997. Abdominal
Surgical Approaches in Danakas GT Pietrantoni M (ed) “The Care Of The
Gynecologic / Obstetric Patient”. St Louis, Missouri, Mosby.
Hegner,Barbara. 2003.Asisten Perawatan: suatu pendekatn Proses
keperawatan. Jakarta: EGC
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah.
Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran Bandung
Nursalam. 2008.
Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.
Jakarta: EGC
Tarwoto & Wartonah ( 2006 ), Kebutuhan
Dasar Manusia dan Proses keperawatan, Edisi 3, Jakarta : Salemba Medika